Rabu, 12 Februari 2020

KOPERASI: JALAN MENUJU SEJAHTERA!


Apa itu Sejahtera?
Sejahtera adalah impian setiap orang. Sejahtera selalu dikonotasikan dengan harta yang melimpah, rumah mewah, perhiasan mahal, gaji yang besar, usaha yang berkembang, dan segala hal pencapaian dan keberhasilan materialistik.
Berbagai cara dilakukan manusia untuk mencapai kesejahteraan. Mereka mengorbankan tenaga, waktu, dan pikiran. Mereka melakukannya dengan jalan yang benar maupun yang menyimpang. Namun, tak jarang manusia belum merasakan kesejahteraan meskipun telah melakukan berbagai cara.
Memang, hampir tidak ada tolok ukur paten tentang arti kesejahteraan. Sebagian besar orang yang kelihatannya memiliki banyak hal, bahkan sudah terbilang kaya, tapi belum mengakui dirinya berhasil mencapai kesejahteraan. Pencapaiannya itu justru menjadi masalah tersendiri. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang hidup dengan sederhana, tapi mengakui kehiduannya penuh dengan kesejahteraan yang membuat hidupnya lebih bermakna.
Jika demikian, apa arti seseungguhnya dari sejahtera itu?
Dari berbagai sumber dan pendapat para ahli, sejahtera atau kesejahteraan itu memiliki 4 (empat) makna, yaitu: 
  1. Dalam istilah umum, sejahtera itu menunjuk pada keadaan yang baik, kondisi manusia dalam keadaan makmur, sehat, dan damai;
  2. Dalam aspek ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan material. Bahkan sejahtera memiliki arti khusus sebagai sebuah cabang ekonomi yang menggunakan teknik mikro-ekonomi untuk mengevaluasi tingkat kesejahteraan pada tingkat agregat (seluruh aspek ekonomi).
  3. Dalam aspek sosial, sejahtera menunjuk pada jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Istilah ini yang digunakan dalam ide negara sejahtera.
  4. Di beberapa negara maju seperti Amerika, sejahtera menunjuk pada uang yang dibayarkan pemerintah pada orang yang membutuhkan bantuan finansial tetapi tidak dapat bekerja, atau pendapatan yang dihasilkan tidak mencukupi kebutuhan dasarnya untuk bisa hidup.
Dari berbagai pendapat dan sudut pandang tentang sejahtera dan kesejahteraan, maka pemaknaan sejahtera dapat disimpulkan dengan lebih terukur untuk setiap orang per orang bahwa Sejahtera itu adalah keberhasilan dalam pemenuhan kebutuhan; baik primer, sekunder, maupun tersier, yang mencakup pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan pengembangan diri berdasarkan nilai yang ada pada diri seseorang.
Seluruh aspek kebutuhan-kebutuhan ini harus didasarkan pada nilai yang ada pada diri masing-masing individu secara subjektif berdasarkan ukuran kondisi objektif. Hal ini lah yang menjadikan makna sejahtera menjadi terukur.
Selama ini ukuran tingkat kesejahteraan penduduk selalu diukur pada tingkat moneter (Beyond Gross Domestic Product) semata. Kemudian mulailah disusun indikator yang mengarah pada kondisi kesejahteraan subjektif (subjective well-being) atau kebahagiaan (happiness).
Lebih jauh, indikator kebahagiaan merupakan ukuran yang menggambarkan tingkat kesejahteraan karena kebahagiaan merupakan refleksi dari tingkat kesejahteraan yang telah dicapai oleh setiap individu (Kapteyn, Smith dan Soest, 2010). Indikator kebahagiaan akan menggambarkan tingkat kesejahteraan subjektif terkait beberapa aspek kehidupan yang dianggap esensial dan bermakna bagi sebagian besar penduduk dan masyarakat (Martin, 2012; OECD, 2011, 2013). Berbagai penelitian terkait kebahagiaan menunjukkan fenomena bahwa kebahagiaan seseorang akan berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pembangunan dan perkembangan sosial di masyarakat (Forgeard dkk., 2011). 
Maka, tingkat kesejahteraan seseorang dapat diukur dari tingkat kebahagiaannya dengan indikator dan dimensti tertentu. Alat pengukuran ini dikenal dengan Indeks Kebahagiaan atau Index of Happiness.

Indeks Kebahagiaan
Indeks Kebahagiaan atau Index of Happiness adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat yang menyajikan data dan informasi terkait tingkat kebahagiaan masyarakat. Informasi ini memberikan gambaran umum mengenai kondisi kehidupan yang mencakup Dimensi Kepuasan Hidup (life satisfaction),Dimensi Perasaan (affect), dan Dimensi Makna Hidup dari masyarakat (eudaimonia).
Pada Dimensi Kepuasan Hidup, indikatornya terdiri dari: 1) Kepuasan Hidup Personal, yang mencakup; penddikan dan keterampilan, pekerjaan/usaha/kegiatan utama, pendapatan rumah tangga, kesehatan, dan kondisi rumah atau fasilitas rumah; dan 2) Kepuasan Hidup Sosial, yang mencakup; keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan.
Pada Dimensi Perasaan, indikatornya terdiri dari: perasaan senang/riang/gembira, perasaan tidak khawatir atau cemas, perasaan tidak tertekan. Dan pada Dimensi Makna Hidup, terdiri dari: kemandirian, penguasaan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri.
Menurut laporan PBB bertajuk World Happiness Report 2019 yang digagas oleh Sustainable Development Solutions Network yang berada di bawah PBB ini, gelar negara paling bahagia di dunia tahun ini diraih kembali oleh Finlandia dengan nilai indeks 7.632, disusul Denmark, Norwegia, Islandia, Belanda, Swiss, Swedia, Selandia Baru, Kanada, dan Autria.
Di tahun 2018, ada sebanyak 156 negara yang dilibatkan dalam survei ini termasuk negara kita tercinta, Indonesia. Pada tahun 2017, Indonesia berada di posisi 81 dari 155 negara dengan nilai indeks kebahagiaan sebesar 5.262. Sayangnya pada tahun 2018 posisi Indonesia mengalami penurunan sebanyak 15 peringkat menjadi ke-96 dengan nilai indeks 5.093. 
Ternyata penurunan posisi Indonesia ini sudah berlangsung sejak 2015 yaitu dari posisi 74 ke 79, kemudian turun ke posisi 81, hingga sekarang menjadi peringkat 96. Untungnya pada tahun 2019, peringkat Indonesia naik pada posisi 92 dengan skor 5.192.

Mewujudkan Kesejahteraan
Jika kita memperhatikan negara-negara yang bertengger dalam puncak 10 besar dalam pringkat negara paling bahagia, semuanya didominasi oleh negara-negara Skandinavia dan Eropa. Khususnya Finlandia, yang merupakan negara paling bahagia di dunia, menjadi tanda tanya mengapa bisa negara dengan jumlah penduduk 5,4 juta jiwa ini menjadi negara paling bahagia. Ternyata Finlandia adalah negara dengan penduduk paling sejahtera di dunia, meskipun bukan negara paling kaya di dunia.
Finlandia memang bukan negara yang populer di Eropa seperti Jerman dan Prancis, tapi keberhasilannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya menjadikannya negara paling bahagia di dunia. Beberapa kajian tentang keberhasilan Finlandia menjadi negara paling bahagia, di antaranya disebebkan oleh kekuatan ekonomi, rendahnya tingkat korupsi, kesadaran atas kesetaraan antara penduduk lokal dan imigran, dan kebebasan memilih.
Namun, di balik itu Finlandia ternyata adalah sebuah negara yang juga dianggap sebagai negara paling berkoperasi di dunia, di mana 84% penduduknya adalah anggota koperasi, dengan kontribusi GNP (Gross National Product) hingga 10%. Tingginya prosentase ini membuktikan bahwa koperasi begitu penting dan utama. Finlandia dan negara-negara Skandinavia lainnya telah menjadikan koperasi benar-benar sebagai sokoguru perekonomian.
Koperasi di Finlandia bergerak di berbagai sektor, misalnya sektor produksi, pengolahan, pertaniaan, retail, dan perbankan. Dan Organisasi induk gerakan koperasinya dikenal dengan Pallervo Society yang berafiliasi dengan lebih dari 500 grup koperasi yang sebagian besar adalah grup koperasi raksasa. Valio misalnya, sebuah grup koperasi susu yang menyuplai 97% kebutuhan susu dalam negeri; Metsalitto, grup koperasi produksi dan menjadi koperasi produksi terbesar kelima di Eropa. OP-Pohjola, grup koperasi perbankan, yang memiliki 180 bank koperasi independen dengan penguasaan pasar hingga lebih 60%. Dan SOK Corporatioan, grup koperasi ritel, yang memiliki 1646 unit ritel dan 44.000 karyawan dan menguasai 45% pasar ritel di Finlandia. Selain itu, koperasi-koperasi di sektor lainnya; perhotelan, restoran, pengisian bahan bakar, dan lainnya.
Finlandia dan negara-negara Skandinavia lainnya telah menunjukkan bahwa Co-operative Way adalah sebuah jalan yang telah terbukti dapat menghantarkan masyarakat menjadi sejahtera dan pada akhirnya mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya, baik secara individual maupun secara sosial. Bagaimana di Indonesia? Seberapa jauh Koperasi Indonesia telah mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya?

Koperasi Indonesia Mensejahterakan?
Konon, Indonesia adalah negara dengan anggota koperasi terbanyak di dunia, jumlahnya mencapai 33.869.439 orang (BPS 2016), dan kontribusinya terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) pada tahun 2018 mencapai 5,1% yang sebelumnya hanya 1,71% di tahun 2014. Menariknya, menurut perhitungan Suroto (Ketua AKSES), malah tidak pernah bergerak melebihi 2% hingga saat ini.
Namun, kenyataan yang sering kita temukan justru berbeda. Koperasi di Indonesia selalu diidentikkan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; usaha simpan pinjam, lembaga sosial penerima bantuan, bahkan sebagai alat penipuan. Koperasi tidak memiliki peran yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya. Parahnya, koperasi justru selalu dijadikan sebagai objek ‘pembinaan’ dan penerima bantuan oleh dan dari pemerintah (Suroto, 2020). 
Selain itu, Mindset masyarakat pun sudah terlanjur terbangun ke dalam paradigma bahwa koperasi itu memang lembaga kecil yang hanya bermain di pinggiran. Hal ini menambah sulitnya koperasi Indonesia untuk berkembang dan maju. Koperasi yang diharapkan menjadi sokoguru perekonomian akan sulit dicapai.
Ditambah lagi, regulasi di bidang ekonomi yang dibuat tidak pernah memperhitungkan keberadaan dan peran koperasi yang justru menjadi amanat konstitusi yang termaktub pada pasal 33 UUD 1945. Penyelenggara negara dinilai tidak serius dalam menjalankan amanat ini, bahkan diingkari dalam praktek. Sedangkan sistem ekonomi yang diamanatkan oleh konstitusi menghendaki adanya proses partisipasi rakyat dalam aktivitas produksi, konsumsi, dan distribusi.
Pada kenyataannya, struktur ekonomi yang dibangun sejak era Orde Baru sangat rapuh dan rentan akan terjangan badai ekonomi. Bagaikan sebuah piramida, maka struktur ekonomi Indonesia dibangun dengan pola “Piramida Terbalik,” di mana bangunan ekonomi bertumpu pada kekuatan usaha-usaha konglomerasi sebagai subjek utamanya, sedangkan kekuatan ekonomi lainnya berupa koperasi dan UMKM hanya sebagai ‘pemain pinggiran’ dan pelengkap ekonomi semata.
Di sisi lain, Dr. David McClelland, seorang sosiolog dari Harvard dalam bukunya “The Achieving Society” (Van Nostrand, 1961), menulis bahwa negara bisa sejahtera apabila minimal 2% dari jumlah penduduknya menjadi pengusaha. Untuk Indonesia, jumlah ini masih jauh dari harapan. Dengan jumlah penduduk sebanyak 260 juta, berarti seharusnya ada 5 juta pengusaha. Namun kenyataannya, baru ada sekitar 500.000 pengusaha atau hanya 0,2% yang memenuhi kriteria tersebut.
Sedangkan, seharusnya koperasi dapat menjadi wadah bagi para pelaku UMKM untuk meningkatkan skala usahanya secara bersama-sama. Yang menjalankan usaha di sektor produksi dan pertanian, bisa membangun koperasi pemasaran; di sektor pertanian, bisa membangun koperasi pengolahan; dan sebagainya.
-->
Melihat kenyataan ini, sekelompok anak bangsa yang peduli terhadap kehidupan koperasi di Indonesia tergerak untuk mengkreasi sebuah gerakan pemberdayaan untuk Koperasi Indonesia yang akan dibina dan pada gilirannya menjadi bagian dari kehidupan Koperasi di Indonesia. Diharapkan melalui gerakan ini, akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kami menyebut gerakan ini dengan RUMAH KESEJAHTERAAN!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...