Indonesia merupakan surga bagi pelaku industri ritel, tak terkecuali
pemain ritel dunia. Pasar Indonesia menjadi perhatian pemain ritel
dunia. Apalagi, jumlah penduduk Indonesia mencapai 235 juta dengan
capaian gross domestic product (GDP) mencapai Rp4.000 triliun.Secara
keseluruhan bisnis ritel pada 2010 bagus dan tumbuh 12%, dan pada 2011
akan tumbuh 13%-15%. Selain itu, daya beli konsumen juga masih bagus dan
inflasi masih terkontrol 6-6,5%.
Asing makin mendominasi seluruh
sendi-sendi perekonomian nasional. Tercatat, hampir semua sektor
industri dan keonomi strategis sudah 'terkontaminasi' rasa asing.
Terakhir adalah begitu mengguritanya asing merambah pasar perdagangan
Indonesia, terutama di sektor ritel. Perkembangan pangsa pasar ritel
modern yang mayoritas dimiliki asing meningkat signifikan setiap tahun.
Omzet ritel modern
Berdasarkan
data dari Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo), pada 2005,
omzet ritel modern tercatat Rp42 triliun, kemudian meningkat lagi pada
2006 menjadi Rp50,8 triliun dan pada 2008 meningkat menjadi Rp58,5
triliun.
Sebenarnya masuknya peritel asing seperti dua mata pisau,
di satu sisi masuknya peritel asing itu akan berdampak positif terhadap
perekonomian nasional, dan di sisi lain, hal tersebut sangat berpotensi
mematikan pasar tradisional.
Dampak negatif pertumbuhan ritel
modern yang sbertumbuh semakin pesat belakangan ini, khususnya di
kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, mulai dirasakan banyak
pedagang tradisional.
Yang terbaru, pada 2012, bakal ada 3 ritel
asing yang berekspansi ke Indonesia. Yakni, Family Mart dan Lawson.
Keduanya merupakan peritel raksasa dari Korea Selatan dan Jepang. Satu
lainnya membuka hypermarket atau sekelas grosir, yakni Metro AG yang
berpusat di Jerman.
Belum lagi rencana masuknya tiga raksasa ritel
dunia, Wal-Mart (AS), Casino Guichard-Perrachon SA (Prancis), dan Lotte
Shopping (Korea Selatan) bersaing memperebutkan unit hypermart milik PT
Matahari Putra Prima Tbk.
Ancaman terhadap pasar tradisional
Berdasarkan
data Aprindo, pasarmodern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun,
sedangkan pasar tradisional malah menurun 8% setiap tahun. Bila hal itu
dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin pasar tradisional hanya
menyisakan nama.
Berdasarkan data dari Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) 2010, jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.450
pasar dengan jumlah pedagang sekitar 12.625.000 orang.
Jika
dibandingkan dengan pasar-pasar modern yang dikuasai ritel asing dengan
jumlah tenaga kerja lebih sedikit, sesungguhnya pasar tradisional sangat
berpotensi untuk menggerakkan perekonomian daerah serta menyerap tenaga
kerja.
Merujuk data ekonomi nasional dalam lima tahun belakangan
ini, industri ritel memiliki kontribusi terbesar kedua terhadap GDP
setelah industri pengolahan.
Bahkan, dalam penyerapan tenaga
kerja, industri ritel berada di posisi kedua setelah sektor pertanian.
Karena itu, industri ritel dapat dikatakan sebagai industri yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Alasannya, hampir 10% penduduk
Indonesia menggantungkan hidupnya dengan berdagang.
Apalagi,
menurut data Kemenakertrans 2011, angkatan kerja masih didominasi tenaga
kerja berpendidikan SD ke bawah. Jumlah pekerja dengan tingkat
pendidikan SD ke bawah mencapai 54,2 juta orang atau 49,9%.
Kebanyakan
angkatan kerja tersebut hanya mampu ditampung industri ritel selain
sektor pertanian, khususnya pasar tradisional. Sayangnya, realita yang
berkembang menunjukkan, pasar tradisional seakan “mati suri”, kalah
bersaing dengan ritel asing. Akibatnya, berdasar hasil pengamatan di
lapangan, banyak pasar tradisional di daerah yang gulung tikar.
Asosiasi
Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) melaporkan omzet pasar
tradisional di DKI Jakarta merosot hingga 60% setelah kehadiran ritel
asing, khususnya hypermarket.
Imbasnya, tingkat hunian pasar
tradisional tersebut sangat strategis. Kondisi yang tak jauh berbeda
terjadi di daerah-daerah lain, yang rata-rata omzet pasar tradisionalnya
merosot hingga 30%.
Kekuatan modal
Ssebenarnya
akar permasalahan industri ritel di Indonesia adalah kekuatan pasar dan
permodalan di mana ritel asing sangat kuat dan tinggi.
Oleh
karena itu, terjadi terjadi ketidakseimbangan dalam bersaing antara
ritel asing dan pasar tradisional/ ritel kecil. Konsekuensinya, posisi
tawar pasar tradisional sangat rendah di mata konsumen dan publik.
Kenapa
pasar tradisional sampai tersingkir oleh pemodal kuat? tersingkirnya
pasar tradisional selama ini disebabkan adanya beberapa faktor, di
antaranya, masih buruknya infrastruktur kelembagaan pasar tradisional.
Umumnya, kebanyakan pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih
dikelola secara tradisional dan besifat asal-asalan sehingga kurang
profesional.
Pengelolaan pasar tradisional
Berdasar
hasil survei KPPU di beberapa kota, model-model pengembagan kelembagaan
pasar tradisional masih dilakukan dengan pola tidak jelas, cenderung
menggunakan pendekatan birokrasi yang mengedepankan peran pemerintah di
atas segalanya, sedangkan pedagang dan pasar hanya menjadi objek.
Pola
yang tersedia masih belum mendukung terjadinya pemberdayaan pasar
tradisional demi membangun keunggulan bersaing dengan ritel modern.
Pasar
tradisional masih dipandang sebagai ajang pemasukan pendapatan asli
daerah (PAD), namun tanpa ada upaya perbaikan menuju kemampuan bersaing.
Malahan,
dalam berbagai aspek, sering dijumpai tidak adanya kerangka
pengembangan pasar tradisional sebagai bagian dari roadmap pengembangan
pemberdayaan perekonomian masyarakat.
Payung hukum tak memihak
Selain
itu, masih belum adanya payung hukum berupa peraturan
perundangan-undangan yang memberikan sanksi tegas dan keras terhadap
pelanggar regulasi industri ritel.
Meski pemerintah telah
menerbitkan Perpres Nomor 112 Tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan
Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan serta Permendag
Nomor 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan untuk mengatur regulasi
industri ritel nasional, dalam implementasinya, dua peraturan tersebut
kurang berjalan efektif dan masih jauh dari harapan.
Bahkan,
ironisnya, beberapa daerah tidak mengetahui adanya dua peraturan
tersebut dalam industri ritel. Alasan utama ketidakefektifan dua
peraturan perundangan dalam pengaturan zonasi maupun pembatasan lainnya,
umumnya, disebabkan belum jelasnya sanksi dan penegak hukum bagi
pelanggarnya.
Contoh di negara lain
Beberapa
negara yang sukses melakukan best practices dalam pengelolaan dan
pengaturan industri ritel melalui pembuatan UU ritel, antara lain,
Jepang yang mengeluarkan pedoman mengenai unfair trade yang berisi code
of conduct masing-masing pelaku, baik peritel maupun pemasok, serta
Korea Selatan yang mempunyai regulasi berupa Korean Monopoly Regulation
and Fair Trade Act, khususnya pada article 36 (1) dan (2), yang
bertujuan mengidentifikasi kriteria peritel besar yang melakukan praktik
perdagangan tidak adil dengan mengambil keuntungan dari bargaining
position-nya.
Pemda tak memihak
Lemahnya
political will pemerintah daerah juga jadi isu utama di industri ritel.
Hal itu tampak dari rendahnya dukungan serta keberpihakan pemerintah
daerah dalam pembangunan fisik pasar tradisional di daerah sangat
memprihatinkan, kumuh, sempit, becek, bau tak sedap, serta banyak
bangkai tikus, asap pembakaran, sampah dan lain-lain.
Tak salah,
menurut keterangan Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo), pada
2010 masih terdapat sekitar 9.000 pasar yang bangunannya sudah tua dan
lebih dari 20 tahun tida tersentuh renovasi. Sebanyak 70% dari 13.000
bangunan pasar di Indonesia sudah berumur lebih dari 20 tahun. Malahan,
ada yang 30 tahun dan tak kunjng ada perbaikan. Selain itu, lemahnya
“political will” pemerintah daerah yang begitu longgar dan leluasa dalam
memberikan izin berdirinya ritel-ritel baru turut mempercepat
menjamurnya ritel modern di daerah.
Solusi
Untuk
menghindari semakin tersisihnya pasar tradisional dalam era persaingan
perdagangan bebas saat ini, pemerintah harus segera melakukan
langkah-langkah strategis untuk melindungi pasar tradisional.
Hal
itu bisa dilakukan dengan pemberdayaan pasar tradisional melalui
pembangunan fasilitas dan renovasi fisik pasar, peningkatan kompetensi
pedagang dan pengelola pasar, melaksanakan program pendampingan pasar,
penataan dan pembinaan pasar, mengevaluasi pengelolaan pasar
tradisional, serta mengupayakan pencarian dana alternatif selain APBD
untuk memberdayakan pasar tradisional.
Selain itu, pemda perlu
memperketat proses perizinan dalam pendirian ritel baru, terutama ritel
asing. Solusi lainnya adalah meregulasi penataan dan kebijakan zonasi
ritel asing dengan pasar tradisional. Misalnya, zonasi kawasan, zonasi
jarak, dan zonasi rasio penduduk. Pemerintah juga perlu mendorong
pengelolaan pasar tradisional ke arah pola pasar modern.
Kemendag lepas tangan?
Kementerian
Perdagangan menyerahkan kepada pemerintah daerah untuk memutuskan
realisasi izin ekspansi toko eceran bermerek asing di suatu wilayah,
termasuk adanya sinyal peritel raksasa asal Amerika Serikat untuk
memboyong hipermarket Wal-Mart yang ingin ikut meramaikan pasar modern
di dalam negeri.
Kasus di India
Pemerintah
India memutuskan untuk menunda membuka sektor ritel bagi jaringan toko
asing seperti WalMart, menyusul protes keras oleh mitra koalisi
pemerintah dan partai-partai oposisi.
Beberapa pemimpin industri
di negara itu mendukung ritel asing karena modernisasi sektor ritel
India akan menguntungkan kalangan petani, konsumen dan menciptakan
jutaan lapangan kerja.
Tetapi, kalangan yang menentang mengatakan
jaringan ritel asing akan mengancam jutaan pemilik toko kecil di
India.
(arif.pitoyo@bisnis.co.id)
Sumber: klik disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar