Rabu, 28 September 2016

Perdagangan Ritel Waralaba Mengancam!

Indonesia merupakan surga bagi pelaku industri ritel, tak terkecuali pemain ritel dunia. Pasar Indonesia menjadi perhatian pemain ritel dunia. Apalagi, jumlah penduduk Indonesia mencapai 235 juta dengan capaian gross domestic product (GDP) mencapai Rp4.000 triliun.Secara keseluruhan bisnis ritel pada 2010 bagus dan tumbuh 12%, dan pada 2011 akan tumbuh 13%-15%. Selain itu, daya beli konsumen juga masih bagus dan inflasi masih terkontrol 6-6,5%.
Asing makin mendominasi seluruh sendi-sendi perekonomian nasional. Tercatat, hampir semua sektor industri dan keonomi strategis sudah 'terkontaminasi' rasa asing. Terakhir adalah begitu mengguritanya asing merambah pasar perdagangan Indonesia, terutama di sektor ritel. Perkembangan pangsa pasar ritel modern yang mayoritas dimiliki asing meningkat signifikan setiap tahun.


Omzet ritel modern
Berdasarkan data dari Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo), pada 2005, omzet ritel modern tercatat Rp42 triliun, kemudian meningkat lagi pada 2006 menjadi Rp50,8 triliun dan pada 2008 meningkat menjadi Rp58,5 triliun.
Sebenarnya masuknya peritel asing seperti dua mata pisau, di satu sisi masuknya peritel asing itu akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional, dan di sisi lain, hal tersebut sangat berpotensi mematikan pasar tradisional.
Dampak negatif pertumbuhan ritel modern yang sbertumbuh semakin pesat belakangan ini, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, mulai dirasakan banyak pedagang tradisional.
Yang terbaru, pada 2012, bakal ada 3 ritel asing yang berekspansi ke Indonesia. Yakni, Family Mart dan Lawson. Keduanya merupakan peritel raksasa dari Korea Selatan dan Jepang. Satu lainnya membuka hypermarket atau sekelas grosir, yakni Metro AG yang berpusat di Jerman.
Belum lagi rencana masuknya tiga raksasa ritel dunia, Wal-Mart (AS), Casino Guichard-Perrachon SA (Prancis), dan Lotte Shopping (Korea Selatan) bersaing memperebutkan unit hypermart milik PT Matahari Putra Prima Tbk.

Ancaman terhadap pasar tradisional
Berdasarkan data Aprindo, pasarmodern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional malah menurun 8% setiap tahun. Bila hal itu dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin pasar tradisional hanya menyisakan nama.
Berdasarkan data dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2010, jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.450 pasar dengan jumlah pedagang sekitar 12.625.000 orang.
Jika dibandingkan dengan pasar-pasar modern yang dikuasai ritel asing dengan jumlah tenaga kerja lebih sedikit, sesungguhnya pasar tradisional sangat berpotensi untuk menggerakkan perekonomian daerah serta menyerap tenaga kerja.
Merujuk data ekonomi nasional dalam lima tahun belakangan ini, industri ritel memiliki kontribusi terbesar kedua terhadap GDP setelah industri pengolahan.
Bahkan, dalam penyerapan tenaga kerja, industri ritel berada di posisi kedua setelah sektor pertanian. Karena itu, industri ritel dapat dikatakan sebagai industri yang menguasai hajat hidup orang banyak. Alasannya, hampir 10% penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dengan berdagang.
Apalagi, menurut data Kemenakertrans 2011, angkatan kerja masih didominasi tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah. Jumlah pekerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah mencapai 54,2 juta orang atau 49,9%.
Kebanyakan angkatan kerja tersebut hanya mampu ditampung industri ritel selain sektor pertanian, khususnya pasar tradisional. Sayangnya, realita yang berkembang menunjukkan, pasar tradisional seakan “mati suri”, kalah bersaing dengan ritel asing. Akibatnya, berdasar hasil pengamatan di lapangan, banyak pasar tradisional di daerah yang gulung tikar.
Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) melaporkan omzet pasar tradisional di DKI Jakarta merosot hingga 60% setelah kehadiran ritel asing, khususnya hypermarket.
Imbasnya, tingkat hunian pasar tradisional tersebut sangat strategis. Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi di daerah-daerah lain, yang rata-rata omzet pasar tradisionalnya merosot hingga 30%.

Kekuatan modal
Ssebenarnya akar permasalahan industri ritel di Indonesia adalah kekuatan pasar dan permodalan di mana ritel asing sangat kuat dan tinggi.
Oleh karena itu, terjadi terjadi ketidakseimbangan dalam bersaing antara ritel asing dan pasar tradisional/ ritel kecil. Konsekuensinya, posisi tawar pasar tradisional sangat rendah di mata konsumen dan publik.
Kenapa pasar tradisional sampai tersingkir oleh pemodal kuat? tersingkirnya pasar tradisional selama ini disebabkan adanya beberapa faktor, di antaranya, masih buruknya infrastruktur kelembagaan pasar tradisional. Umumnya, kebanyakan pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih dikelola secara tradisional dan besifat asal-asalan sehingga kurang profesional.

Pengelolaan pasar tradisional
Berdasar hasil survei KPPU di beberapa kota, model-model pengembagan kelembagaan pasar tradisional masih dilakukan dengan pola tidak jelas, cenderung menggunakan pendekatan birokrasi yang mengedepankan peran pemerintah di atas segalanya, sedangkan pedagang dan pasar hanya menjadi objek.
Pola yang tersedia masih belum mendukung terjadinya pemberdayaan pasar tradisional demi membangun keunggulan bersaing dengan ritel modern.
Pasar tradisional masih dipandang sebagai ajang pemasukan pendapatan asli daerah (PAD), namun tanpa ada upaya perbaikan menuju kemampuan bersaing.
Malahan, dalam berbagai aspek, sering dijumpai tidak adanya kerangka pengembangan pasar tradisional sebagai bagian dari roadmap pengembangan pemberdayaan perekonomian masyarakat.

Payung hukum tak memihak
Selain itu, masih belum adanya payung hukum berupa peraturan perundangan-undangan yang memberikan sanksi tegas dan keras terhadap pelanggar regulasi industri ritel.
Meski pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 112 Tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan serta Permendag Nomor 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan untuk mengatur regulasi industri ritel nasional, dalam implementasinya, dua peraturan tersebut kurang berjalan efektif dan masih jauh dari harapan.
Bahkan, ironisnya, beberapa daerah tidak mengetahui adanya dua peraturan tersebut dalam industri ritel. Alasan utama ketidakefektifan dua peraturan perundangan dalam pengaturan zonasi maupun pembatasan lainnya, umumnya, disebabkan belum jelasnya sanksi dan penegak hukum bagi pelanggarnya.

Contoh di negara lain
Beberapa negara yang sukses melakukan best practices dalam pengelolaan dan pengaturan industri ritel melalui pembuatan UU ritel, antara lain, Jepang yang mengeluarkan pedoman mengenai unfair trade yang berisi code of conduct masing-masing pelaku, baik peritel maupun pemasok, serta Korea Selatan yang mempunyai regulasi berupa Korean Monopoly Regulation and Fair Trade Act, khususnya pada article 36 (1) dan (2), yang bertujuan mengidentifikasi kriteria peritel besar yang melakukan praktik perdagangan tidak adil dengan mengambil keuntungan dari bargaining position-nya.

Pemda tak memihak
Lemahnya political will pemerintah daerah juga jadi isu utama di industri ritel. Hal itu tampak dari rendahnya dukungan serta keberpihakan pemerintah daerah dalam pembangunan fisik pasar tradisional di daerah sangat memprihatinkan, kumuh, sempit, becek, bau tak sedap, serta banyak bangkai tikus, asap pembakaran, sampah dan lain-lain.
Tak salah, menurut keterangan Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo), pada 2010 masih terdapat sekitar 9.000 pasar yang bangunannya sudah tua dan lebih dari 20 tahun tida tersentuh renovasi. Sebanyak 70% dari 13.000 bangunan pasar di Indonesia sudah berumur lebih dari 20 tahun. Malahan, ada yang 30 tahun dan tak kunjng ada perbaikan. Selain itu, lemahnya “political will” pemerintah daerah yang begitu longgar dan leluasa dalam memberikan izin berdirinya ritel-ritel baru turut mempercepat menjamurnya ritel modern di daerah.

Solusi
Untuk menghindari semakin tersisihnya pasar tradisional dalam era persaingan perdagangan bebas saat ini, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah strategis untuk melindungi pasar tradisional.
Hal itu bisa dilakukan dengan pemberdayaan pasar tradisional melalui pembangunan fasilitas dan renovasi fisik pasar, peningkatan kompetensi pedagang dan pengelola pasar, melaksanakan program pendampingan pasar, penataan dan pembinaan pasar, mengevaluasi pengelolaan pasar tradisional, serta mengupayakan pencarian dana alternatif selain APBD untuk memberdayakan pasar tradisional.
Selain itu, pemda perlu memperketat proses perizinan dalam pendirian ritel baru, terutama ritel asing. Solusi lainnya adalah meregulasi penataan dan kebijakan zonasi ritel asing dengan pasar tradisional. Misalnya, zonasi kawasan, zonasi jarak, dan zonasi rasio penduduk. Pemerintah juga perlu mendorong pengelolaan pasar tradisional ke arah pola pasar modern.

Kemendag lepas tangan?
Kementerian Perdagangan menyerahkan kepada pemerintah daerah untuk memutuskan realisasi izin ekspansi toko eceran bermerek asing di suatu wilayah, termasuk adanya sinyal peritel raksasa asal Amerika Serikat untuk memboyong hipermarket Wal-Mart yang ingin ikut meramaikan pasar modern di dalam negeri.

Kasus di India
Pemerintah India memutuskan untuk menunda membuka sektor ritel bagi jaringan toko asing seperti WalMart, menyusul protes keras oleh mitra koalisi pemerintah dan partai-partai oposisi.
Beberapa pemimpin industri di negara itu mendukung ritel asing karena modernisasi sektor ritel India akan menguntungkan kalangan petani, konsumen dan menciptakan jutaan lapangan kerja.
Tetapi, kalangan yang menentang mengatakan jaringan ritel asing akan mengancam jutaan pemilik toko kecil di India.

(arif.pitoyo@bisnis.co.id)

Sumber: klik disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...