Marx, filosof besar itu, begitu menaruh perhatian pada yang namanya "kerja". Baginya kerja merupakan realisasi kemanusiaan yang paling ultim. Kerja adalah perwujudan diri yang mana manusia meng-ada melaluinya.
Sayangnya, kerja kontemporer tak senikmat dan semenarik apa kata Marx. Kerja kontemporer lebih nampak sebagai kewajiban berangkat dan pulang pada jam yang ditentukan. Kerja lebih nampak sebagai paksaan yang diperlukan untuk bertahan hidup. Kerja jadilah suatu momen yang alienatif: mengasingkan manusia dari keberadaannya.
Kerja yang demikian itu adalah kerja pasca kapitalisme tumbuh subur di muka bumi. Dalam analisisnya Marx mengungkapkan bahwa kerja yang alienatif itu terjadi karena pekerja dipisahkan dari hasil pekerjaannya. Pekerja yang telah dibeli tenaganya menjadi buruh yang tak punya hak atas hasil kerjanya.
Bayangkan lah Anda seorang buruh pabrik NIKE, Adidas atau perusahaan ternama lainnya. Anda ciptakan ratusan bahkan ribuan pasang sepatu untuk perusahaan Anda bekerja. Sayangnya, dengan gaji rendah Anda tak pernah bisa mencicipi memakai sepatu bermerek dan berkelas dunia itu. Itulah gambaran kerja yang alienatif yang Marx tunjuk.
Sehingga terminologi kerja itu sendiri memang sedari awal kapitalistik. Justru sebaliknya, tradisi Jawa memiliki istilah yang mencukupi untuk menggambarkan kerja dalam makna Marxian itu: MAKARYO. Makaryo atau berkarya adalah kerja yang berkonotasi pada upaya perwujudan diri dari berbagai fakultas-fakultas kemanusiaan yang individu miliki.
Makaryo atau berkarya merupakan kreasi aktif individu mengolah segala ihwal di dunia ini menjadi meaning full. Tentu tak sekedar soal: gaji, biaya hidup, tunjangan saja. Dalam makna makaryo, kedirian individu mewujud dalam hasil karyanya. Bila kita pinjam bahasa Moh. Hatta, itulah yang ia sebut sebagai individualita itu.
Makaryo adalah realisasi ultim dari kapasitas kemanusiaan individu yang ultim. Yang karenanya, individu menemukan kepuasan (meaning full) ketika melakukan aktivitas tersebut. Makaryo jadilah tak dapat diukur hanya dengan kriteria uang/ gaji belaka.
Dalam tradisi Jawa itu, bila kita ingat masih ingat di tahun 70-80an istilah ini masih sering kita dengar dalam keseharian. "Lik menyang endi?" "Arep makaryo". Dan rekonsktruksi romantis dari makaryo adalah kerja agraris dan sektor kreatif. Kerja agraris memungkinkan "makaryo" hadir saat seorang petani memulai masa tanam dengan persembahan/ selamatan. Atau saat secara bersahabat memandikan kerbau yang ia miliki. Dan seterusnya.
Kerja kreatif misalnya ketika para tukang kayu itu meracik papan/ balok kayu menjadi kusen, lemari, meja dan sebagainya. Karya yang ia hasilkan adalah bentuk ejawantah dari kemanusiaannya. Karya-karya itu menjadi sesuatu yang dalam dirinya adalah seni atau nyeni. Sehingga pada zaman itu tak ada jarak antara bekerja (makaryo) dengan berkebudayaan.
Menghadirkan makaryo pada perjumpaan kontemporer sama artinya dengan ikhtiar aktif merubah tata keberadaan dan tata kelola yang eksploitatif. Makaryo hilang karena karena modal atawa kapitalisme. Bahwa modal menjadi mendikte individu sehingga kita kehilangan kendali atas hak-hak dasar kemanusiaan kita. Yakni hak untuk menikmati pekerjaan kita.
Tanyalah kepada buruh, guru, karyawan swasta dan macam orang lainnya, apakah makaryo hadir dalam keseharian? Atau justru dikte-dikte bahwa kita harus menyelesaikan tugas dari A sampai Z untuk demi gaji bulanan? Adakah kebersatuan (kemanunggalan) diri dan karyanya ada di sana? Adakah ia merasakan bahwa yang dikerjakannya sebagai hal yang meaning full?
Indikasinya sederhana: apakah orang akan begitu cheerfull saat menyambut liburan atau begitu suntuk pasca pulang kantor. Dari raut wajah, intonasi kisah dan bahasa tubuh lainnya, kita bisa kenali adakah makaryo hadir dalam diri seseorang.
Ikhtiar untuk merubah tata keberadaan dan tata kelola merupakan aspirasi sejarah umat manusia: bahwa yang lebih baik itu adalah mungkin. Seperti yang dulu dilakukan Robert Owen (Bapak Koperasi Dunia) ketika menuntut: 8 jam kerja, 8 jam rekreasi dan 8 jam istirahat terwujud sampai hari ini.
Meski jam kerja itu sudah demikian nampak manusiawi, lantas apakah makaryo sudah hadir di dalamnya? Atau perlu radikalisasi pada perubahan tata keberadaan segala ihwal (the order of thing) menjadi lebih sosialistik dan humanistik. Salah satu bentuknya adalah dengan ownership atawa kepemilikan sebuah perusahaan oleh para pekerjanya.
Boleh jadi dari sanalah makaryo benar-benar bisa hadir sehingga pekerja-pekerja tak lagi terasing dari pekerjaan dan hasil kerjanya. Ya, saat ia bisa mengendalikan apa-apa yang dikerjakannya. Ada hak, ada kendali, ada demokrasi di ruang kerja. Selamat makaryo![]
Oleh: Firdaus Putra, HC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar